RINDU HUSNIISME
HANGUSKAN RADIKALISME DAN INTOLERANSI
Oleh:
Muhammad Husni Fahruddin Al Ayub
Youth Institute
Husniisme merupakan pemahaman berpikir manusia bahwa dirinya adalah
manifestasi sebuah keindahan. Tangisan bayi yang baru lahir adalah sebuah
keindahan, bayi menangis merupakan bentuk ekspresi takjub akan keindaham dunia
bukan ketakutan dan kesedihan terlahir di dunia. Memulai hidup dari rahim merupakan pertunjukan
awal akan keindahan, Tidak perduli rahim tersebut atheis ataupun theis, karena sebenarnya
rahim pengejawantahan keindahan. Keindahan
tersebut dipertunjukkan Tuhan tanpa hak memilih untuk terlahir dari genotipe pasangan
manusia laki-laki dan perempuan tertentu.
Tidak akan pernah berkurang sebuah keindahan manakala pasangan yang menelurkan
bibit sang anak tersebut plural dalam prinsip kenegaraanya baik itu nasionalis,
islamis, liberalis, demokratis, monarkis, sosialis bahkan komunis.
Sang anak teraneksasi masuk dalam bentuk manusia yang ada pada dirinya,
terpapar begitu eksotis dan menawan, dalam varian kehidupan tersebutlah letaknya
keindahan, tidak hanya bersifat biologis, psikis, sosiologis dan spiritualis
semata, akan selalu muncul kepluralitasan lainnya sejalan dengan pengetahuan manusia
yang selalu “hanya” menuju kebenaran. Keindahan
perbedaan pada manusia menyebakan kokohnya kebenaran dan terkikisnya pembenaran. Karena kebenaran absolute tentu saja milik
sang pencipta.
Keindahan pada manusia itu yang tergambar secara empiris melalui ras-ras
atau bangsa-bangsa, bersuku-suku, berbeda warna kulit, bermacam agama,
berjenis-jenis keyakinan, berwarnanya pemahaman dan kemampuan berpikir. Keindahan menyebakan hilangnya egoisme pembedaan
terhadap sebuah perbedaan, perbedaan-perbedaan pada diri manusia bukan untuk
membentuk sekat agar terjadi himpunan pembedaan antara yang sama dan yang tidak
sama.
Indonesia adalah keindahan itu sendiri, keragaman, kesetaraan dan
kesederajadan merupakan rangkaian heterogenitas dan multikultural yang termaktub
dalam keindonesiaan yang bila dijalankan dengan prinsip keindahan akan
menghasilkan kesadaran sosial, solidaritas sosial dan integrasi sosial menuju
tatanan masyarakat yang berempati dan bertoleransi bukan hanya di ruang publik
namun menyentuh ke ruang private. Bukan hanya
di Indonesia, bahkan di dunia saat ini, pusaran konflik perbedaan terkooptasi
oleh pemahaman agama. Walaupun bila
diteliti lebih lanjut, konflik agama bukan hanya semata-mata persoalan agama
akan tetapi ada faktor penguasa dan ekonomi di dalamnya.
Konsep keagamaan yang mendoktrin kebenaran suatu agama sebagai jalan
keselamatan bagi penganut-penganut keyakinan tersebut, di pemahaman lainnya,
penganut keyakinan tadi tidak dapat menggunakan keabsolutan pemahamannya dalam
memahami keabsolutan sang pencipta. Pemahaman,
pandangan dan pembelaan atas klaim kebenaran suatu agama merupakan jalan mulia
bagi pemeluknya. Konflik-konflik atas
nama agama merupakan perbedaan opini tentang klaim agama yang paling benar dan
terbaik dibandingkan agama lawannya yang dianggap palsu dan tidak up to date. Bagi manusia yang di luar lingkaran konflik,
konflik tersebut menunjukkan tidak ada satupun klaim kebenaran agama yang
sesungguhnya benar, sebab bila agama itu benar maka akan dapat memberikan
petunjuk kepada pengikutnya untuk dapat memberikan kritikan yang berprinsip,
bukan sinisme ataupun tidak berkonflik sesuai yang diajarkan dalam kitab
sucinya.
Semakin tajamnya konflik atas nama agama ini, terlihat dengan munculnya
gerakan yang intoleran, menyeruaknya faham-faham radikal, serta menggeliatnya
pemikiran-pemikiran takfiri yang tersulut melalui gerakan kekerasan atas nama
agama (terorisme), hal ini terjadi ketika agama memerintahkan kepada
pengikutnya untuk memberitahukan dan mengabarkan tentang kebenaran agama yang
dimilikinya, sehingga banyak ditafsirkan secara militan dan fanatik oleh para
pemeluknya dengan cara yang tidak selaras dengan perintah setiap agama yakni
membuat kebaikan dan kebajikan di muka bumi.
Bahkan terdapat pemikiran yang keliru dan salah kaprah, ketika para pemeluk
agama menyatakan bahwa kebaikan akan terbuang sia-sia jika diberikan kepada
orang yang tidak layak untuk menerimanya.
Padahal, kebaikan itu sebenarnya seperti hujan yang turun di manapun,
baik di tanah kebun yang subur maupun di tempat sampah sekalipun, karena bisa saja
kebaikan tersebut memenuhi apa yang dibutuhkan oleh orang yang tidak kita
anggap layak untuk menerimanya.
Pada dasarnya perbedaan dalam agama termasuk aliran atau mahzab dalam
satu agama, akan selalu ada karena perbedaan rumusan keimanan antar agama itu
sendiri, penyelesaian konflik agama dapat diselesaikan dengan metode dialog
yang menumbuhkan sikap toleran. Sejatinya
sikap toleransi itu adalah untuk saling memahami dan mempererat ke luar serta
menguatkan dan meneguhkan ke dalam. Diskusi
dan toleransi berfungsi agar setiap pemeluk agama berusaha untuk memahami agama
lain dengan agama yang dianutnya, bukan menyangkal kebenaran agama lain, dan
mengurangi keimanan penganut agama lain, namun lebih membuat mempertebal dan
meneguhkan keimanan setiap pemeluk agama yang berdialog, karena sebenarnya
agama itu untuk kedamaian, kebaikan dan kebajikan.
Ada sebuah contoh keindahan cara berpikir manusia yakni diskusi yang
membahas tentang manusia yang bisa masuk ke surga, Islam mengklaim bahwa setiap
manusia yang beragama Islam pasti akan masuk ke surga, setiap orang yang
mengucapkan syahadat merupakan sebuah kunci untuk membuka pintu surga dan bagi
yang tidak beragam Islam maka tidak akan memiliki kunci untuk membuka pintu
surga, begitu juga kristiani, budha, hindu, Yahudi serta agama dan keyakinan lainnya
akan mengklaim hal yang serupa dengan pandangan agama yang berbeda tentang
surga, kemudian pertanyaannya adalah, ketika seseorang tidak beragama sesuai
dengan kriteria agama tertentu untuk masuk ke surga, namun di dalam hidupnya
selalu menaburkan kebaikan dan kebajikan, menjadi suri tauladan dan tokoh yang
mewariskan keilmuan yang sangat berguna bagi peradaban manusia, apakah
seseorang tersebut tetap tidak akan masuk surga, yang artinya insan tersebut akan
masuk neraka. Tentu saja kasus ini akan
menjadi pembahasan yang tidak akan ada habisnya di setiap diskusi antar agama,
karena perbedaan keimanan di setiap agama tersebut. ”Orang baik” pasti akan masuk ke surga, maka
itu akan menjadi kata kunci bagi setiap agama, karena di situlah letak keadilan
Tuhan, bagaimana cara masuknya ke surga, maka banyak hal yang akan bisa
dijadikan alasan logis sebuah keimanan di setiap pemeluk agama, untuk agama
Islam misalnya dengan mudah alasan logisnya adalah karena kebaikan yang telah
di tabur semasa hidupnya di dunia, maka sebelum ajalnya dengan kesadaran penuh
melalui ijin Allah swt, lewat bimbingan para malaikat dan syafaat Rosululloh,
seseorang tersebut membaca dua kalimat syahadat pengakuan Allah sebagai Tuhan yang
satu dan Muhammad adalah Utusan Allah. Begitu
juga bila versi agama kristiani maka ada alasan logis yang menyebabkan seseorang
tersebut masuk surga karena sebelum ajalnya telah menyebutkan ke-esa-an Tuhan melalui
trinitas Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh kudus, begitu juga versi agama dan
keyakinan lainnya sehingga dari diskusi ini akan timbul usaha untuk memahami
pemeluk agama lain dengan agama yang di anutnya.
Manusia sejatinya sadar bahwa kelahirannya di dunia ini dengan sebuah
tangan seniman yang menciptakan karya dengan maha indah, terciptanya keindahan
tersebut tentu saja dengan sebuah tujuan, sebagai bentuk ciptaan yang indah
maka tentu saja pancaran yang di timbulkannya akan bernilai indah maka merugilah
manusia yang tidak menyadari bahwa alam semesta ini diciptakan untuk melengkapi
sebuah karya keindahan yang bernama manusia.
Memadu kasihlah, saling mencintailah dan menyatulahlah antar sesama
keindahan, karena bila keindahan telah bersemai di didiri manusia maka kebaikan
dan kedamaian akan terpancar ke seluruh alam semesta.
Samarinda, 21 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar