PRABOWO SUBIANTO, MOMENTUM TERAKHIR
Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto
Djojohadikusumo, kelahiran Jakarta pada tanggal 17 Oktober1951,
merupakan mantan Danjen Kopassus, pengusaha dan politisi. Prabowo adalah
anak dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo, dan cucu
dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, anggota BPUPKI, pendiri Bank
Negara Indonesia dan Ketua DPAS pertama. Salah satu saudaranya Hashim
Djojohadikusumo dikenal sebagai seorang pengusaha handal, dengan bisnis di
puluhan negara termasuk Kanada, Russia dan Indonesia. Prabowo
adalah keturunan dari Panglima Laskar Diponegoro untuk wilayah
Gowong, yang bernama Raden Tumenggung Kertanegara III dan sebagai salah seorang
keturunan dari Adipati Mrapat, Bupati Kadipaten Banyumas Pertama.
Pada Bulan Mei 1983, Prabowo menikah dengan Siti
Hediati Hariyadi anak dari Presiden Soeharto, kemudian bercerai tidak lama
setelah Soeharto mundur dari jabatan Presiden Republik
Indonesia. Selain memiliki prestasi yang handal, faktor menjadi
menantu presiden di masa orde baru inilah yang menyebabkan karier prabowo
meroket. Prabowo mengawali karier militernya pada tahun 1970 dengan
mendaftar di Akademi Militer Magelang dan lulus pada tahun 1974
bersamaan dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 1976 Prabowo bertugas sebagai Komandan Pleton Para Komando Grup I Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur, dengan usia 26 tahun dan merupakan komandan termuda dalam operasi Tim Nanggala. Prabowo memimpin misi untuk menangkap Nicolau dos Reis Lobato, wakil ketua Fretilin yang pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Timor Timur. Dengan tuntunan Antonio Lobato yang merupakan adik Nicolau Lobato, kompi Prabowo menemukan Nicolau Lobato di Maubisse, lima puluh kilometer di selatan Dili. Nicolau Lobato tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah Mindelo pada tanggal 31 Desember 1978.
Pada tahun 1976 Prabowo bertugas sebagai Komandan Pleton Para Komando Grup I Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur, dengan usia 26 tahun dan merupakan komandan termuda dalam operasi Tim Nanggala. Prabowo memimpin misi untuk menangkap Nicolau dos Reis Lobato, wakil ketua Fretilin yang pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Timor Timur. Dengan tuntunan Antonio Lobato yang merupakan adik Nicolau Lobato, kompi Prabowo menemukan Nicolau Lobato di Maubisse, lima puluh kilometer di selatan Dili. Nicolau Lobato tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah Mindelo pada tanggal 31 Desember 1978.
Pada tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teroris (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Setelah menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara. Pada tahun 1996, Komandan Kopassus Prabowo Subianto memimpin operasi pembebasan sandera Mapenduma yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kepemimpinannya, operasi ini berhasil menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspedisi Lorentz '95, yang terdiri dari lima peneliti biologi asal Indonesia, dan tujuh orang sandera lainnya adalah peneliti dari Inggris, Belanda dan Jerman.
Salah satu pencapaian Prabowo yang luar biasa
ketika mempecundangi Malaysia secara heroik dan ditulis dalam bukunya 'Di
Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan', dalam bukunya tersebut Prabowo mendengar
bahwa Malaysia sudah mencanangkan akan mengibarkan bendera kebangsaan mereka
pada tanggal 10 Mei 1997. Prabowo berujar “Saya tidak rela bangsa Indonesia,
sebagai bangsa 200 juta jiwa, harus kalah dengan bangsa lain di kawasan kita.
Karena mencapai puncak tertinggi di dunia sudah menjadi salah satu tonggak
ukuran prestasi suatu bangsa", saat memutuskan untuk melakukan ekspedisi
yang dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dan diakhiri pada tanggal 26 April 1997,
Tim Nasional Indonesia yang terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI,
dan Mapala UI berhasil mengibarkan bendera merah putih di puncak
tertinggi dunia Everest setelah mendaki melalui jalur selatan Nepal.
Ditengah kegemilangan pergerakkan militernya
yang strategis, disiplin dan tegas menjadikan kekuatan militer Indonesia sangat
disegani oleh bangsa lainnya di dunia, banyak rentetan dugaan yang diterpakan
kepada sosok manusia besi ini. Pada tahun 1983, saat Prabowo
menjabat wakil Densus 81 Anti teror, disinyalir pernah mencoba melakukan upaya
penculikan sejumlah petinggi militer, termasuk Jendral LB Moerdani yang
diduga hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soeharto, namun upaya ini
digagalkan oleh Komandan Densus 81 Antiteror Mayor Luhut Panjaitan. Prabowo
juga diduga terlibat dalam peristiwa pembantaian Kraras yang terjadi pada tahun
1983 di Timor Timur. Namun Prabowo membantah tuduhan ini, ia meyakini bahwa
tuduhan tersebut adalah tuduhan tak berdasar dan merupakan kampanye yang
dilakukan oleh barisan orang korup di Indonesia mengenai pencalonan dirinya
sebagai Presiden dalam Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014.
Pada tahun 1997, Prabowo juga dituduh
sebagai salah satu dalang penculikan terhadap sejumlah aktivisproreformasi
menjelang Pemilihan Umum tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyattahun 1998. Pada Mei 1998, menurut kesaksian
Presiden Habibie dan purnawirawan Sintong Panjaitan, Prabowo
melakukan insubordinasi dan berupaya menggerakkan tentara ke Jakarta dan di
sekitar kediaman Habibie untuk kudeta. Karena insubordinasi tersebut
ia diberhentikan dari posisinya sebagai Panglima Kostrad oleh Wiranto atas
instruksi Habibie.
Masalah yang utama dan menjadi polemik dari
kesaksian Habibie ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang
mengawal rumahnya adalah atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada
briefing komando tanggal 14 Mei 1998, panglima ABRI mengarahkan Kopassus mengawal
rumah-rumah presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara
tertulis pada tanggal 17 Mei 1998 kepada komandan-komandan
senior, termasuk Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam Jaya pada waktu itu. Dalam
beberapa wawancara, Prabowo menyatakan sangat bisa melancarkan kudeta pada
hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu, tetapi yang penting baginya ia tidak
melakukannya. “Keputusan mempercepat pensiun saya adalah sah,” katanya. “Saya
tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan.
Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin
menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas
posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada
negara, setia kepada Republik”.
Setelah meninggalkan karier militernya,
Prabowo memilih untuk mengikuti karier adiknya Hashim Djojohadikusumo,
menjadi pengusaha. Karier Prabowo sebagai pengusaha dimulai dengan membeli Kiani
Kertas, perusahaan pengelola pabrik kertas yang berlokasi di Mangkajang, Kalimantan
Timur. Sebelumnya, Kiani Kertas dimiliki oleh Bob Hasan, pengusaha
yang dekat dengan Presiden Suharto. Prabowo membeli Kiani Kertas menggunakan
pinjaman senilai Rp. 1,8 triliun dari Bank Mandiri. Selain
mengelola Kiani Kertas, yang namanya diganti oleh Prabowo menjadi Kertas
Nusantara. Usaha-usaha yang dimiliki oleh Prabowo bergerak di bidang migas,
perkebunan, tambang, kelapa sawit, dan batu bara. Banyak kalangan menilai, Prabowo cukup sukses
dalam berusaha. Pada Pilpres 2009, Prabowo ialah cawapres terkaya, dengan
total asset sebesar Rp 1,579 Triliun dan US$ 7,57 juta, termasuk 84 ekor kuda
istimewa yang sebagian harganya mencapai 3 Milyar per ekor serta sejumlah mobil
mewah seperti BMW 750Li dan Mercedes Benz E300.
Prabowo memulai kembali karier politiknya
dengan mencalonkan diri sebagai calon presiden dari Partai Golkar pada
Konvesi Capres Golkar 2004. Meski lolos sampai putaran akhir, namun Ia kalah
suara dari Wiranto. Sebab hal tersebutlah kemudian Prabowo, bersama
adiknya Hashim Djojohadikusumo, mantan aktivis mahasiswa Fadli Zon,
dan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan Muchdi
Purwoprandjono serta sederetan nama lainnya mendirikan Partai Gerakan
Indonesia Raya atau Partai Gerindra pada tanggal 6 Februari 2008.
Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra. Partai tersebut
meraih 4.646.406 suara (4,46 %) dan menempatkan 26 orang wakilnya di DPR
RI pada Pemilu legislatif Indonesia tahun 2009. Pada 9
Mei2008, Partai Gerindra menyatakan keinginannya untuk mencalonkan
Prabowo menjadi calon presiden pada Pemilu 2009 saat mereka menyerahkan berkas
pendaftaran untuk ikut Pemilu 2009 pada KPU. Namun belakangan, setelah proses
tawar menawar yang alot, akhirnya Prabowo bersedia menjadi calon wakil presiden Megawati
Soekarnoputri. Deklarasi Mega-Prabowo dilaksanakan di tempat pembuangan sampah
Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Pemilu Presiden 2009 berakhir dalam satu
putaran dengan kemenangan telak SBY - Budiono. Partai Gerakan
Indonesia Raya memproklamirkan mengusung Prabowo sebagai calon presiden
pada pemilihan presiden 2014. Prabowo sendiri sudah menyatakan kesediaannya
untuk dicalonkan sebagai presiden, jika mendapat dukungan dari rakyat.
Prabowo Subianto hadirkan "Enam Program
Aksi Transformasi Bangsa" dalam kampanyenya apabila terpilih menjadi Presiden
Republik Indonesia, ia ingin membangun ekonomi yang kuat, berdaulat, adil dan
makmur, melaksanakan ekonomi kerakyatan, membangun kedaulatan pangan dan energi
serta pemanfaatan sumberdaya air, meningkatkan kualitas pembangunan manusia
Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya, membangun
infrastruktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup, dan
membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat, tegas dan efektif.
Prabowo dengan Gerindranya meyakini akan menjadi Presiden RI di tahun 2014 dengan dukungan PDIP atas dasar Perjanjian Batu Tulis, Megawati Soekarnoputri berjanji akan mencalonkan Prabowo sebagai presiden pada pemilihan presiden 2014, yang dimasa sekarang ini menjadi polemik politik diantara partai Gerindra dan PDIP, ketika PDIP mengumumkan Joko Widodo sebagai calon presiden PDIP ditahun 2014. Sesuai dengan Kesepakatan Bersama PDI Perjuangan dan Partai Gerindra Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia 2009-2014, kesepakatan tersebut yakni:
Prabowo dengan Gerindranya meyakini akan menjadi Presiden RI di tahun 2014 dengan dukungan PDIP atas dasar Perjanjian Batu Tulis, Megawati Soekarnoputri berjanji akan mencalonkan Prabowo sebagai presiden pada pemilihan presiden 2014, yang dimasa sekarang ini menjadi polemik politik diantara partai Gerindra dan PDIP, ketika PDIP mengumumkan Joko Widodo sebagai calon presiden PDIP ditahun 2014. Sesuai dengan Kesepakatan Bersama PDI Perjuangan dan Partai Gerindra Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia 2009-2014, kesepakatan tersebut yakni:
1. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai
Gerindera) sepakat mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden
dan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden 2009;
2.
Prabowo Subianto
sebagai wakil presiden, jika terpilih, mendapat penugasan untuk mengendalikan
program dan kebijakan kebangkitan ekonomi Indonesia yang berdasarkan azas
berdiri di kaki sendiri, berdaulat di bidang politik, dan kepribadian nasional
di bidang kebudayaan dalam kerangka sistem presidensial. Esensi kesepakatan ini
akan disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri pada saat pengumuman pencalonan
calon presiden dan calon wakil presiden serta akan dituangkan lebih lanjut dalam
produk hukum yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku;
3. Megawati Soekarnoputri
dan Prabowo Subianto bersama-sama membentuk kabinet. Berkaitan dengan penugasan
pada butir 2 diatas, Prabowo Subianto menentukan nama-nama menteri yang terkait.
Menteri-menteri tersebut adalah Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri
keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri
Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM,
dan Menteri Pertahanan;
4.
Pemerintah yang
terbentuk akan mendukung program kerakyatan PDI Perjuangan dan 8 (delapan)
program aksi Partai Gerindera untuk kemakmuran rakyat;
5. Pendanaan pemenangan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 ditanggung secara bersama-sama dengan
presentase 50% dari pihak Megawati Soekarnoputri dan 50% dari pihak Prabowo
Subianto;
6. Tim sukses pemenangan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 dibentuk bersama-sama melibatkan
kader-kader PDI Perjuangan dan Partai Gerindera serta unsur-unsur masyarakat;
7. Megawati Soekarnoputri
mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu
Presiden tahun 2014.
Sebagai sosok patriot yang memiliki jiwa
nasionalisme tinggi, jargon ini membuat Partai Gerindra memiliki kans yang
fenomenal dan pasti akan membuat kejutan di pemilihan legislatif tahun 2014,
signifikannya suara Gerindra dikarenakan sosok Prabowo yang tegas di mata
Rakyat Indonesia akan mampu mengangkat keterpurukan bangsa ini ditengah
kegamangan dan kekurang tegasan pemimpin saat ini disaat, namun tidak bagi Jend
(purn) TNI Agum Gumelar, yang menyatakan bahwa "Saya tahu persis siapa
dia. Karena bekas anak buah saya. Jangankan untuk menjadi presiden, untuk
mencalonkan diri saja harusnya dia malu," kata Agum Gumelar, yang tak lain
adalah bekas komandannya saat berdinas di Komando Pasukan Khusus
(Kopassus).
Kasus penculikan beberapa aktivis ini, lanjut
mantan menteri perhubungan, pada Kabinet Gotong Royong itu, mendapat reaksi
cukup keras dari dunia internasional. Kerja sama Indonesia dengan beberapa
negara-negara luar diputus. "Pimpinan ABRI langsung melakukan penyelidikan
kasus yang masuk kategori pelanggaran berat ini. Harusnya kasus ini ditangani
Mahkamah Militer karena telah teridentitas. Tapi karena beberapa faktor
akhirnya tidak ditangani Mahkamah Militer," terang Agum yang merupakan
lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1968 itu. Maka untuk
melanjutkan pemeriksaan, petinggi ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP)
yang beranggotakan beberapa perwira berpangkat letnan jendral (letjen).
"DKP ini beranggotakan letjen-letjen. Ada saya, Pak SBY saat itu dan
lainnya," ungkapnya. Dalam pemeriksaan itu DKP menyimpulkan
dalam bentuk rekomendasi panglima ABRI untuk memberhentikan Prabowo Subianto
Djojohadikusumo yang saat itu berpangkat letjen.
Lebih lanjut ditegaskan Agum, apa yang
dikatakannya bukan untuk menggiring pemilih untuk tidak memilih ketua Dewan
Pembina Partai Gerindra itu. Tapi hanya mengingatkan, layak atau tidak layak
seseorang dipilih sebagai presiden. Menurut Agum yang juga merupakan ketua umum
DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (PEPABRI), keluarga
besar PEPABRI telah menyepakati salah satu syarat seorang bakal calon pemimpin
dari TNI atau Polri yakni, memiliki kepribadian yang baik, memiliki track
record bagus, leadership telah teruji, serta memiliki
latar belakang keluarga yang bagus. "Silakan mau pilih siapa,
dari mana, silakan. Ini demokrasi. Tapi yang mengerti harus mengingatkan yang
tidak mengerti, karena masa depan bangsa ini jadi taruhannya”.
Sebagai gambaran umum bahwa penculikan aktivis
1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan
terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) tahun 1998. Peristiwa penculikan ini dipastikan
berlangsung dalam tiga tahap yakni menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua
bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang
pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara
mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul
kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman
mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan
ketiga muncul. Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh
alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus
Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga
hari ini.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah
Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza,
Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi
Arief. Sedangkan tiga belas aktivis yang masih hilang dan belum
kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani
Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra
Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka berasal dari berbagai
organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan
mahasiswa.
Kasus ini diselidiki oleh Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah
diserahkan ke Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus
penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1 Oktober 2005 hingga 30
Oktober 2006. Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut
adalah 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang
dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara
sewenang-wenang.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM tahun 2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan ada beberapa orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM tahun 2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan ada beberapa orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.
Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan
pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama
1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan
warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan
TNI. Pada 22 Desember 2006 Komnas HAM meminta DPR agar mendesak
Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum untuk
menuntaskan persoalan.
Ketua DPR Agung Laksono pada 7 Februari 2007
juga meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk
menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis. Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari
kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi penculikan para aktivis politik
pro-demokrasi.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim
mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II
Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor
PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono
(Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI.
Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil
Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius
Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan
memecat mereka sebagai anggota TNI.
Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara
tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah
Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka
Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo,
Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1
tahun. Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang
Kristiono di sidang Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu
dilaporkan kepada komandan grupnya, yakni Kolonel Chairawan, tetapi sang
komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa dikonfirmasi.
Sementara itu tanggung jawab komando
diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan
Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar
rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus
Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun).
Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR, serta Dan Group-4 Kolonel Inf.
Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya
mengetahui segala kegiatan bawahannya.
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP)
yang diumumkan para petinggi TNI saat itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan
atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi
P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas
dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan
para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas
anggotanya.
Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu
Djalaluddin, S.H., berpendapat seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP
Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan
sehingga harus diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan
pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Dalam temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus
tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan juga bekas
Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer. Keadaan tahun 2007
Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan
belum bisa dikenakan atas mereka.
Sementara itu mereka tetap meniti karier di
TNI dan meduduki beberapa posisi penting, rincianya sbb:
1.
Bambang Kristiono,
dipecat;
2.
Fausani Syahrial
Multhazar: pada tahun 2007 menjabat Dandim Jepara dengan pangkat Letnan
Kolonel;
3.
Nugroho Sulistyo Budi:
4.
Untung Budi Harto,
tahun 2007 menjabat Dandim Ambon dengan pangkat Letnan Kolonel;
5.
Dadang Hendra Yuda,
pada September 2006 menjabat Dandim Pacitan dengan pangkat Letnan
Kolonel;
6.
Jaka Budi Utama, pada
tahun 2007 menjabat Komandan Batalyon 115/Macan Lauser;
7.
Sauka Nur Chalid;
8.
Sunaryo;
9.
Sigit Sugianto;
10.
Sukardi;
11.
Kolonel Infantri
Chairawan dipromosikan menjadi Danrem 011 Lilawangsa;
12.
Mayjen Muchdi PR
muncul dalam sidang pembunuhan aktifis HAM Munir untuk dimintai keterangan
mengenai keterlibatan dirinya maupun BIN dalam pembunuhan tersebut. Muchdi PR
adalah mantan Deputi V BIN pada saat Munir terbunuh.
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu. Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI. 28 September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang) merekomendasikan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili aktor-aktor di balik penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1998-1999. Isi rekomendasi:
1.
Merekomendasikan
kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
2.
Merekomendasikan
kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait
untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih
dinyatakan hilang;
3.
Merekomendasikan
kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap
keluarga korban yang hilang;
4.
Merekomendasikan
kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa
sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan
Paksa di Indonesia.
Sedangkan Prabowo saat wawancara kepada
majalah Tempo, mengaku tidak melakukan penculikan dan penghilangan paksa
aktivis 1997-1998 maupun kerusuhan Mei 1998. Prabowo dalam wawancara
itu juga menuturkan perintah penculikan terhadap para aktivis hanya untuk menjalankan
tugas.
Terlepas dari itu semua, dalam bingkai
militer, tentu saja posisi Prabowo saat itu tidak terlepas dari perintah,
karena secara militer masih banyak para Jendral dengan posisi startegis berada
diatas kepangkatannya bahkan masih ada sosok seorang Presiden sebagai panglima
tertinggi yang tentu saja dapat memberikan perintah bahkan sekaligus
menghentikan tindakan Prabowo bila melakukan aksi diluar ketentuan, ataukah
ketidakberanian petinggi militer saat itu dikarenakan sosok Prabowo sebagai
menantu kepala negara, dan yang lebih mencengangkan lagi bahwa para aktifis
yang diculik dan masih hidup saat ini ternyata berposisi dalam wilayah politik
dan bisnis Prabowo, rakyat menanti pernyataan objektif para aktifis tersebut
dan rakyat menunggu clear dan cleannya dugaan pelanggaran HAM yang ditautkan
kepada Prabowo melalui ketegasan pemerintah untuk menyelesaikan dugaan ini pada
domain yustisia, agar RAKYAT INDONESIA TAHU SECARA PASTI KEBENARAN ATAUKAH
PEMBENARAN YANG MELEKAT PADA SOSOK PRABOWO, PEMBUKTIAN INILAH MOMENTUM TERAKHIR
DAN TERMANIS BAGI PRABOWO UNTUK MENJADI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
( Tulisan ini di buat dari berbagai sumber dan di posting pada hari Rabu, 09 April
2014 dan hasil resmi pilpres di umumkan pada tanggal 22 Juli 2014 dengan
kemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dapat dilihat di https://husniayubfahruddin.blogspot.co.id/2014/04/prabowo-momentum-terakhir.html
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar