MUHAMMAD “MEMANUSIAKAN”
MANUSIA
Pertanyaanya adalah
siapakah yang disebut manusia?, Berasal dari mana manusia?, siapa yang
menciptakan manusia?, Untuk apa manusia itu ada?, kemana tujuan manusia?,
apakah seluruh manusia yang ada selama ini dapat dikatakan manusia?. Bagaimana
menjadi manusia?. Jawabannya berujung
pada kata Allah swt
untuk sampai pada titik Allah swt, maka Nabi
Muhammad saw adalah penghubung dan penyebabnya. Seperti
pertanyaan apakah seluruh manusia yang ada selama ini dapat dikatakan manusia?
Jawabannya adalah dapat dikatakan “manusia” manakala menggunakan seluruh
potensi yang ada pada dirinya hanya untuk beribadah kepada Allah swt, bagaimana
menggunakan seluruh potensi “manusia” maka Rasulallah SAW adalah jawabannya. Seluruh pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab
dengan pemahaman “manusia”, yang akan dikupas secara sederhana dalam uraian
berikut Insya Allah.
Materi (materialisme) dan non materi (Spiritualisme) merupakan 2 (dua) hal
yang mendominasi pernik-pernik prinsip kehidupan manusia yang seharusnyalah
disandingkan dalam kehidupan. Paham
materialisme dan paham spiritulisme yang selama ini mendominasi di segenap
pemahaman manusia, bagaikan dua kutub yang berlawanan (kutub negative dan kutub
positif) tetapi bila disadari kedua kutub yang berlawanan tadi sebenarnya
saling tarik menarik untuk dapat bertemu di satu titik, titik yang meniadakan
sesuatu tanpa meninggalkan sesuatu, tidak materialis juga tidak spiritualis,
inilah titik dimana seseorang manusia sempurna diangkat menjadi hamba, yang
segenap hidupnya dicurahkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Figur Nabi Muhammad SAW merupakan bukti,
bahwa manusia tidak boleh meninggalkan materi dan non materi.
Alam semesta beserta
anasirnya termasuk manusia tercipta karena wujud dari “non materi” Nur Muhammad. Untuk memperkuat hujjah Allah swt tersebut
maka terbentuk wujud “materi” Rasulallah SAW.
Begitu jelas fakta yang diperlihatkan oleh Allah swt,
melalui seluruh utusan-Nya, segenap nabi-Nya, dan para kekasih-Nya. Tidak ada satupun juga fakta bahwa utusan
Allah swt, memilih salah satunya saja, materi saja atau spiritual saja,
mengutamakan spiritual dibandingkan material, mengutamakan material
dibandingkan spiritual. Semua harus
proporsional, karena materi maupun non materi merupakan bentuk ”penghambaan”
sebagai ibadah kepada sang pemilik alam swt.
Manusia
tercipta dari materi dan non materi, kesempurnaan materi dan non materi yang
terdapat pada manusia meletakkan manusia pada mahluk yang paling sempurna. Ketika, manusia tidak bisa dikatakan
merupakan mahluk yang paling sempurna dibandingkan mahluk lainnya, semua
terletak pada potensi manusia melalui segenap kesempurnaan yang telah
dilekatkan oleh Allah swt kepada manusia tersebut. “Bilamana akal
terkalahkan oleh hawa nafsu maka manusia lebih hina dari binatang dan bila akal
dapat mengatasi hawa nafsu maka manusia lebih tinggi dari malaikat” (al Hadist). Ini sebenarnya bukan pilihan atau fatalis,
dan bila manusia masih memilih
maka patut dipertanyakan apakah memang benar dia manusia. Bila “manusia” tentunya tidak ada pilihan
dalam kehidupan ini kecuali memanfaatkan dengan maksimal (tidak semaksimal
mungkin, karena mungkin merupakan tanda ketidak optimisan diri) seluruh nikmat
yang telah diberikan oleh Allah swt dalam wujud materi dan non materi yang
melekat pada manusia.
“Figure”
merupakan kata yang memiliki pemaknaan adhesive dengan manusia. Dari kata figure, muncul ekuivokasi yang
kontekstual berbeda tetapi memiliki kesamaan pemaknaan sesuai dengan pengolahan
non materi yang adhesive pada diri manusia seperti pemimpin, pimpinan, pujaan, pandangan,
prinsip, tujuan, dan sebagainya akibat dari persepsi terhadap figure. Rekruitment figure, tentu saja berdasarkan
pemanfaatan potensi yang ada pada diri manusia sehingga bisa saja manusia
memilih figure Rosulallah saw atau figure Fir’aun, yang pada akhirnya menggiring
mendekat atau menjauh kepada “manusia” sebagai abdi Allah swt.
Muhammad
terlahir sebagi sosok figure bagi segenap mahluk Allah swt termasuk di dalamnya
manusia. Muhammad kecil terlahir tanpa
menyusahkan siapapun sehingga menjadi figure bagi para orang tua untuk
mendapatkan anak seperti beliau SAW.
Muhammad remaja tumbuh diantara remaja lain yang memiliki kejujuran,
kecerdasan dan kepatuhan kepada kebaikan sehingga menjadi “dambaan” bagi setiap
remaja dan setiap tuan untuk memiliki seorang pekerja yang jujur dan bekerja
keras, menjadi suri tauladan bagi setiap manusia yang mendapatkan cobaan dan
menjadikan cobaan tersebut rasa syukur akan nikmat yang diberikan-Nya seperti
yatim piatu, intimidasi dan anarkis oleh kaum kafir. Menjadi figure terbaik
bagi suami, isteri dan keluarga dalam membina dan membimbing untuk menuju
kehidupan keluarga sempurna.
Memiliki
jiwa kepemimpinan dan berhak menjadi pemimpin, ketika strategi jitu beliau SAW dalam
mengatasi permasalahan, salah satunya peletakan batu di ka’bah. Beliau SAW mengerti sekali bagaimana cara
memberikan keadilan kepada seluruh manusia.
Sejarah mengatakan ketika suatu saat ada seseorang (kontra terhadap
kepemimpinan sayyidina Ali kw) mempertanyakan kepemimpinan Imam Ali bin Abi
Thalib kw dibandingkan pemimpin sebelumnya (Abubakar, Umar dan Utsman), Beliau as
menjawab, ketika mereka memimpin, mereka memimpin manusia seperti diriku,
tetapi sekarang ketika aku memimpin, aku memimpin manusia seperti dirimu.
Hadits ini tidak memperlihatkan kesombongan Imam Ali kw, tetapi Imam Ali kw
coba mengingatkan bahwa ketika menjadi pemimpin dan dipimpin, seharusnyalah
melaksanakan hak dan kewajiban menjadi “manusia”. Itu Imam Ali kw sebagai pintu ilmu, bagaimana
figure kepemimpinan Rasulallah SAW sebagai kotanya ilmu.
Pemimpin merupakan
kebutuhan seluruh makhluk, setiap jenis binatang memiliki pemimpin untuk
menjaga dan melindungi kepentingannya, bahkan jin sekalipun memiliki pemimpin. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi,
tentunya memerlukan pemimpin. Dari
strata social terkecil sampai satrata social teratas, pasti memilih untuk
menjadikan seseorang pemimpin mereka.
Pemimpin dalam keluarga adalah ayah, pemimpin dalam kumpulan keluarga adalah
Ketua Rukun Tetangga, kumpulan dari rukun tetangga adalah Ketua Rukun Warga, di
desa ada kepala desa, dikecamatan ada camat, sampai pada titik pemimpin suatu
Negara yang disebut presiden, raja, perdana menteri, kanselir dll. Pilihan dari pemimpin mereka berdasarkan pada criteria
terbaik yang ada pada pemimpin. Criteria
manusia terbaik inilah yang menjadi pilihan.
Pemimpin
untuk memimpin seluruh umat manusia merupakan ketetapan Allah swt melalui
nubuwah dan imamah. Ketika untuk urusan
memimpin seluruh umat manusia, maka manusia terbentur pada keaadan yang tidak
dapat mereka tentukan sehingga sudah kewajaran Allah swt yang memiliki
ketetapan tersebut. Sampai detik ini,
tidak ada satupum kaum muslimin yang berhasil menentukan pemimpin mereka,
karena criteria pemimpin seluruh umat manusia sangat komprehensif . Ketetapan Allah swt, tentang nubuwah dan
imamah, sebenarnya sangat ilmiah sekali bila di ekuivalen dengan metode
pemilihan yang dilakukan oleh manusia berdasarkan criteria terbaik yang telah
mereka gunakan. Metode criteria terbaik (metode
ilmiah apapun juga seperti fit and propertest dll) dari analisis pengujian empiris
apapun juga seperti membuat matrikulasi eminensi dari segi keilmuan, keimanan,
kejujuran, pernah atau tidak melakukan dosa atau perbuatan tercela dan
indicator lainnya. Bila metode itu digunakan pada jaman-jaman sebelumnya tentu
saja criteria tersebut tetap jatuh kepada Nabi-nabi Allah. Pada jaman Rasulallah SAW, tentu saja tidak
ada satupun manusia yang mampu menyaingi criteria terbaik yang dimiliki oleh
Beliau SAW. Sehingga ketetapan Allah dalam hal Nubuwah dan imamah merupakan
keniscayaan yang berkeadilan dan dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga sudah merupakan akseptabilitas bahwa
pemimpin umat manusia harus ada sampai berakhirnya kehidupan manusia tersebut.
Beliau SAW, tidak
dapat disamakan dengan figure manusia terbaik lain di dunia ini. Nabi Adam as ketika iblis tidak mau menyembah “dirinya”
atas perintah Allah swt, dan iblis yang terkena dampak (hukuman) dari
ketidaktaatannya. hal tersebut tetap
beralasan, karena iblis bukanlah “manusia”.
Tetapi manakala Nabi Muhammad SAW (atas perintah Allah swt),
memerintahkan manusia bukan iblis, untuk menyembah sang pencipta alam semesta
swt, mereka aversi bahkan bentuk penolakan diberikan langsung dengan menyakiti
beliau SAW (Beliau SAW ikut terkena dampak) walaupun pada kenyataanya manusia
tersebut pasti akan terkena dampak dari penolakannya, pernahkah Beliau SAW bersedih,
bahkan berdoa atas keselamatan manusia.
Siapakah yang menjadi figure
Rasulallah SAW?, siapakah guru beliau SAW? Pada masa
beliau, dari kecil hingga mendapatkan gelar kenabian, pada kenyataanya tidak
ada satupun figure manusia yang menjadikan beliau menjadi manusia sempurna,
apalagi dimasa beliau, ilmu bukanlah merupakan hal yang penting. Lantas apakah Muhammad terlahir sudah
demikian sempurnanya tanpa ada didikan dari siapapun, bila demikian sangat
tidak wajar Rasulallah dijadikan panutan manusia, karena kesempurnaan beliau
didapatkan tanpa adanya ikhtiari artinya kesempurnaan langsung turun pada diri
beliau sehingga ketiadkadilan Allah swt akan terasa bagi manusia lainnya yang
ingin mengikuti (fisibilitas) jejak kesempurnaan berdasarkan iktiari. Tentu
saja kesempurnaan yang beliau dapatkan berdasarkan iktiar walaupun bila Allah swt
berkehendak semua bisa saja terjadi. Bertahun-tahun elaborasi mencari
tentang keberadaan dunia beserta isinya, tetapi beliau tidak mendapatkan guru karena Allah swt bukanlah “sesuatu”,
maha figure atau guru dari segala guru inilah yang mengajarkan kepada beliau
untuk menuju kesempurnaan manusia. Mudah
atau sulitkah belajar dari yang mengetahui segala sesuatu?, tentu saja sangat
sukar sekali, sebab yang diajarkan adalah segala sesatu yang meliputi segala
sesuatu. Bukan bermaksud mengekuivalenkan
Muhammad dengan manusia lainnya, tetapi manakala seseorang belajar tentang
sesuatu hal yang garib, tentu saja memerlukan pemikiran yang ekstra keras,
begitu juga yang terjadi pada diri Rasulallah SAW, bukan hanya non materi yang terkuras
karena dipaksa bekerja keras tetapi juga berimplikasi kepada materi/raga
Rasulallah yang mengalami kesakitan.
Sehingga wajarlah Rasulallah SAW mendapatkan kesempurnaan menjadi
manusia karena belajar dan langsung didik oleh Yang Maha Akmal melalui malaikat
Jibril. Otomatis kiranya Rasulallah SAW
dijadikan panutan seluruh manusia sebagai seorang pemimpin karena kesempurnaannya,
tidak ada satupun celah yang membuat Rasulallah SAW tidak bisa dijadikan figure
bagi “manusia”.
Gatra
seorang guru, dengan jiwa mendidik yang dimilikinya, menginginkan seluruh anak
didiknya agar berhasil memahami dan mengamalkan ajarannya. Ketika melihat keberhasilan dan kegagalan
pada anak didiknya maka akan timbul berbagai macam rasa dan treatment secara
proporsional yang harus dilakukan. Tidak
ada satupun guru yang rela bilamana anak didiknya mengalami kegagalan. Walaupun pada akhirnya semua tergantung
kepada anak didiknya tersebut, tetapi tetap saja guru tidak akan rela dengan
kegagalan dan berusaha untuk mencarikan jalan keluarnya dengan berbagai metode. Begitu juga Rasulallah SAW, beliau adalah
guru bagi seluruh umat manusia sehingga tidak akan rela umatnya mengalami
kegagalan sebagai manusia. Allah swt
melalui lisan suci beliau SAW telah mengajarkan kepada manusia tentang semua
hal yang menjadi perintah dan semua hal yang menjadi larangan. Kedua hal ini, cukup untuk menjadi pegangan
agar dapat menjadi manusia. Bukan
Rasulallah SAW, bila tidak mengetahui bahwa akan ada umatnya yang lalai bahkan
aversi akan kedua hal tersebut sehingga Beliau saw memohon kepada Allah swt
agar dapat memberikan syafaat bagi umatnya.
Inilah metode Beliau SAW agar dapat membantu umatnya yang memerlukan
pertolongan.
Nabi Muhammad
SAW juga merupakan figure bagi non muslim, banyak contoh fakta yang dapat
dijadikan rujukan tentang ketauladanan Rasulallah SAW kepada umat diluar Islam,
seperti melindungi kepentingan mereka, menjaga martabat mereka, menghormati hak
dan kewajiban mereka, menghargai anak-anak, wanita dan tawanan perang,
kesemuanya ini tentu saja banyak yang melahirkan “manusia” diluar kaum
muslimin.
Muhammad SAW,
pada dasarnya melahirkan “manusia”.
Tanpa Muhammad SAW, maka manusia tidak akan menjadi “manusia”. Muhammad SAW dengan kesempurnaan sikap,
perilaku, karakter dalam kehidupan, altruistis, kualitas kepribadian, kualitas
keturunan genealogis dan Al-Qur’an sebagai mukzizat
beliau SAW, memberikan satu kepastian bahwa yang menjadikan beliau sebagai
figure, pencinta, tauladan, panutan, mengerjakan sesuatu yang Beliau
perintahkan dan menjauhi segala sesuatu yang Beliau larang tidak akan membawa
kepada ketidaksempurnaan karena mengikuti Beliau SAW artinya menyatakan
ke-Esa-an Allah swt yang pada akhirnya akan menghijrahkan “manusia” pada satu
posisi menjadi hamba Allah swt.
Mari bersama-sama kita hentikan sesat fikir manusia,
karena kita Memiliki Nabi Muhammad SAW yang dapat memberikan stimulans untuk memiladkan
“Manusia”.
Wassalamualaikum
Warahmatullahiwabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar