MOMENTUM TERAKHIR PRABOWO SEBAGAI PRESIDEN
Letnan Jenderal (Purn) Prabowo
Subianto Djojohadikusumo, kelahiran Jakarta pada tanggal
17 Oktober 1951, merupakan mantan Danjen Kopassus, pengusaha
dan politisi. Prabowo adalah anak dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro
Djojohadikusumo, dan cucu dari Raden
Mas Margono Djojohadikusumo, anggota BPUPKI, pendiri Bank
Negara Indonesia dan Ketua DPAS pertama. Salah
satu saudaranya Hashim
Djojohadikusumo dikenal sebagai seorang pengusaha handal, dengan bisnis di
puluhan negara termasuk Kanada, Russia dan Indonesia. Prabowo adalah keturunan dari Panglima Laskar
Diponegoro untuk
wilayah Gowong, yang bernama Raden Tumenggung Kertanegara III dan sebagai salah
seorang keturunan dari Adipati Mrapat, Bupati Kadipaten Banyumas Pertama.
Pada Bulan Mei 1983, Prabowo menikah dengan Siti
Hediati Hariyadi anak dari Presiden Soeharto, kemudian bercerai tidak lama setelah
Soeharto mundur dari
jabatan Presiden Republik Indonesia. Selain
memiliki prestasi yang handal, faktor menjadi menantu presiden di masa orde
baru inilah yang menyebabkan karier prabowo meroket. Prabowo mengawali karier militernya pada
tahun 1970 dengan mendaftar di Akademi Militer Magelang dan lulus
pada tahun 1974 bersamaan dengan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 1976 Prabowo bertugas sebagai Komandan Pleton Para Komando Grup I Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur, dengan usia 26 tahun dan merupakan komandan termuda dalam operasi Tim Nanggala. Prabowo memimpin misi untuk menangkap Nicolau dos Reis Lobato, wakil ketua Fretilin yang pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Timor Timur. Dengan tuntunan Antonio Lobato yang merupakan adik Nicolau Lobato, kompi Prabowo menemukan Nicolau Lobato di Maubisse, lima puluh kilometer di selatan Dili. Nicolau Lobato tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah Mindelo pada tanggal 31 Desember 1978.
Pada tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teroris (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Setelah menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara. Pada tahun 1996, Komandan Kopassus Prabowo Subianto memimpin operasi pembebasan sandera Mapenduma yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kepemimpinannya, operasi ini berhasil menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspedisi Lorentz '95, yang terdiri dari lima peneliti biologi asal Indonesia, dan tujuh orang sandera lainnya adalah peneliti dari Inggris, Belanda dan Jerman.
Salah satu pencapaian Prabowo yang luar biasa ketika mempecundangi Malaysia secara heroik dan ditulis dalam bukunya 'Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan', dalam bukunya tersebut Prabowo mendengar bahwa Malaysia sudah mencanangkan akan mengibarkan bendera kebangsaan mereka pada tanggal 10 Mei 1997. Prabowo berujar “Saya tidak rela bangsa Indonesia, sebagai bangsa 200 juta jiwa, harus kalah dengan bangsa lain di kawasan kita. Karena mencapai puncak tertinggi di dunia sudah menjadi salah satu tonggak ukuran prestasi suatu bangsa", saat memutuskan untuk melakukan ekspedisi yang dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dan diakhiri pada tanggal 26 April 1997, Tim Nasional Indonesia yang terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, dan Mapala UI berhasil mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi dunia Everest setelah mendaki melalui jalur selatan Nepal.
Pada tahun 1976 Prabowo bertugas sebagai Komandan Pleton Para Komando Grup I Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur, dengan usia 26 tahun dan merupakan komandan termuda dalam operasi Tim Nanggala. Prabowo memimpin misi untuk menangkap Nicolau dos Reis Lobato, wakil ketua Fretilin yang pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Timor Timur. Dengan tuntunan Antonio Lobato yang merupakan adik Nicolau Lobato, kompi Prabowo menemukan Nicolau Lobato di Maubisse, lima puluh kilometer di selatan Dili. Nicolau Lobato tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah Mindelo pada tanggal 31 Desember 1978.
Pada tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teroris (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Setelah menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara. Pada tahun 1996, Komandan Kopassus Prabowo Subianto memimpin operasi pembebasan sandera Mapenduma yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kepemimpinannya, operasi ini berhasil menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspedisi Lorentz '95, yang terdiri dari lima peneliti biologi asal Indonesia, dan tujuh orang sandera lainnya adalah peneliti dari Inggris, Belanda dan Jerman.
Salah satu pencapaian Prabowo yang luar biasa ketika mempecundangi Malaysia secara heroik dan ditulis dalam bukunya 'Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan', dalam bukunya tersebut Prabowo mendengar bahwa Malaysia sudah mencanangkan akan mengibarkan bendera kebangsaan mereka pada tanggal 10 Mei 1997. Prabowo berujar “Saya tidak rela bangsa Indonesia, sebagai bangsa 200 juta jiwa, harus kalah dengan bangsa lain di kawasan kita. Karena mencapai puncak tertinggi di dunia sudah menjadi salah satu tonggak ukuran prestasi suatu bangsa", saat memutuskan untuk melakukan ekspedisi yang dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dan diakhiri pada tanggal 26 April 1997, Tim Nasional Indonesia yang terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, dan Mapala UI berhasil mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi dunia Everest setelah mendaki melalui jalur selatan Nepal.
Ditengah kegemilangan pergerakkan militernya yang strategis,
disiplin dan tegas menjadikan kekuatan militer Indonesia sangat disegani oleh
bangsa lainnya di dunia, banyak rentetan dugaan yang diterpakan kepada sosok
manusia besi ini. Pada tahun 1983, saat Prabowo menjabat wakil Densus 81 Anti teror, disinyalir
pernah mencoba melakukan upaya penculikan sejumlah petinggi militer, termasuk
Jendral LB Moerdani yang diduga
hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soeharto, namun upaya
ini digagalkan oleh Komandan Densus 81 Antiteror Mayor Luhut Panjaitan. Prabowo juga diduga terlibat dalam peristiwa
pembantaian Kraras yang terjadi pada tahun 1983 di Timor Timur. Namun Prabowo
membantah tuduhan ini, ia meyakini bahwa tuduhan tersebut adalah tuduhan tak
berdasar dan merupakan kampanye yang dilakukan oleh barisan orang korup di
Indonesia mengenai pencalonan dirinya sebagai Presiden dalam Pemilihan
umum Presiden Indonesia 2014.
Pada tahun 1997, Prabowo
juga dituduh sebagai salah satu dalang penculikan
terhadap sejumlah aktivis proreformasi menjelang Pemilihan Umum tahun 1997
dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998.
Pada Mei 1998, menurut
kesaksian Presiden Habibie dan
purnawirawan Sintong
Panjaitan,
Prabowo melakukan insubordinasi dan berupaya menggerakkan tentara ke Jakarta
dan di sekitar kediaman Habibie untuk
kudeta. Karena insubordinasi tersebut ia diberhentikan dari posisinya sebagai
Panglima Kostrad oleh Wiranto atas
instruksi Habibie.
Masalah yang utama dan menjadi polemik dari kesaksian Habibie ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang mengawal rumahnya adalah atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada briefing komando tanggal 14 Mei 1998, panglima ABRI mengarahkan Kopassus mengawal rumah-rumah presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara tertulis pada tanggal 17 Mei 1998 kepada komandan-komandan senior, termasuk Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam Jaya pada waktu itu. Dalam beberapa wawancara, Prabowo menyatakan sangat bisa melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu, tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya. “Keputusan mempercepat pensiun saya adalah sah,” katanya. “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada Republik”.
Masalah yang utama dan menjadi polemik dari kesaksian Habibie ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang mengawal rumahnya adalah atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada briefing komando tanggal 14 Mei 1998, panglima ABRI mengarahkan Kopassus mengawal rumah-rumah presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara tertulis pada tanggal 17 Mei 1998 kepada komandan-komandan senior, termasuk Sjafrie Sjamsoeddin, Pangdam Jaya pada waktu itu. Dalam beberapa wawancara, Prabowo menyatakan sangat bisa melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu, tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya. “Keputusan mempercepat pensiun saya adalah sah,” katanya. “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada Republik”.
Setelah meninggalkan karier militernya, Prabowo memilih untuk
mengikuti karier adiknya Hashim
Djojohadikusumo, menjadi pengusaha. Karier Prabowo sebagai pengusaha dimulai
dengan membeli Kiani
Kertas,
perusahaan pengelola pabrik kertas yang berlokasi di Mangkajang, Kalimantan Timur. Sebelumnya,
Kiani
Kertas
dimiliki oleh Bob Hasan, pengusaha
yang dekat dengan Presiden Suharto. Prabowo
membeli Kiani
Kertas
menggunakan pinjaman senilai Rp. 1,8 triliun dari Bank Mandiri. Selain mengelola Kiani
Kertas,
yang namanya diganti oleh Prabowo menjadi Kertas Nusantara. Usaha-usaha yang dimiliki oleh
Prabowo bergerak di bidang migas, perkebunan, tambang, kelapa sawit, dan batu
bara. Banyak kalangan
menilai, Prabowo cukup sukses dalam berusaha. Pada Pilpres
2009,
Prabowo ialah cawapres terkaya, dengan total asset sebesar Rp 1,579 Triliun dan
US$ 7,57 juta, termasuk 84 ekor kuda istimewa yang sebagian harganya mencapai 3
Milyar per ekor serta sejumlah mobil mewah seperti BMW 750Li dan Mercedes Benz E300.
Prabowo memulai kembali karier politiknya dengan mencalonkan diri
sebagai calon presiden dari Partai Golkar pada Konvesi Capres Golkar 2004. Meski lolos sampai putaran
akhir, namun Ia kalah suara dari Wiranto. Prabowo,
bersama adiknya Hashim
Djojohadikusumo, mantan aktivis mahasiswa Fadli Zon, dan mantan
Deputi V Badan
Intelijen Negara Bidang Penggalangan Muchdi
Purwoprandjono serta sederetan nama lainnya mendirikan Partai
Gerakan Indonesia Raya atau Partai Gerindra pada tanggal 6 Februari 2008. Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra.
Partai tersebut meraih 4.646.406 suara (4,46 %) dan menempatkan 26 orang
wakilnya di DPR RI pada Pemilu
legislatif Indonesia tahun 2009. Pada 9 Mei 2008, Partai Gerindra menyatakan
keinginannya untuk mencalonkan Prabowo menjadi calon presiden pada Pemilu 2009
saat mereka menyerahkan berkas pendaftaran untuk ikut Pemilu 2009 pada KPU.
Namun belakangan, setelah proses tawar menawar yang alot, akhirnya Prabowo
bersedia menjadi calon wakil presiden Megawati
Soekarnoputri. Deklarasi Mega-Prabowo dilaksanakan di tempat pembuangan sampah
Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Pemilu Presiden 2009 berakhir
dalam satu putaran dengan kemenangan telak SBY - Budiono. Partai
Gerakan Indonesia Raya memproklamirkan mengusung Prabowo sebagai calon presiden pada
pemilihan presiden 2014. Prabowo sendiri sudah menyatakan kesediaannya untuk
dicalonkan sebagai presiden, jika mendapat dukungan dari rakyat.
Prabowo Subianto hadirkan "Enam Program Aksi Transformasi Bangsa" dalam kampanyenya apabila terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, ia ingin membangun ekonomi yang kuat, berdaulat, adil dan makmur, melaksanakan ekonomi kerakyatan, membangun kedaulatan pangan dan energi serta pemanfaatan sumberdaya air, meningkatkan kualitas pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya, membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup, dan membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat, tegas dan efektif.
Prabowo dengan Gerindranya meyakini akan menjadi Presiden RI di tahun 2014 dengan dukungan PDIP atas dasar Perjanjian Batu Tulis, Megawati Soekarnoputri berjanji akan mencalonkan Prabowo sebagai presiden pada pemilihan presiden 2014, yang dimasa sekarang ini menjadi polemik politik diantara partai Gerindra dan PDIP, ketika PDIP mengumumkan Joko Widodo sebagai calon presiden PDIP ditahun 2014. Sesuai dengan Kesepakatan Bersama PDI Perjuangan dan Partai Gerindra Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia 2009-2014, kesepakatan tersebut yakni:
Prabowo Subianto hadirkan "Enam Program Aksi Transformasi Bangsa" dalam kampanyenya apabila terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, ia ingin membangun ekonomi yang kuat, berdaulat, adil dan makmur, melaksanakan ekonomi kerakyatan, membangun kedaulatan pangan dan energi serta pemanfaatan sumberdaya air, meningkatkan kualitas pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya, membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup, dan membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat, tegas dan efektif.
Prabowo dengan Gerindranya meyakini akan menjadi Presiden RI di tahun 2014 dengan dukungan PDIP atas dasar Perjanjian Batu Tulis, Megawati Soekarnoputri berjanji akan mencalonkan Prabowo sebagai presiden pada pemilihan presiden 2014, yang dimasa sekarang ini menjadi polemik politik diantara partai Gerindra dan PDIP, ketika PDIP mengumumkan Joko Widodo sebagai calon presiden PDIP ditahun 2014. Sesuai dengan Kesepakatan Bersama PDI Perjuangan dan Partai Gerindra Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia 2009-2014, kesepakatan tersebut yakni:
1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindera) sepakat mencalonkan Megawati
Soekarnoputri sebagai calon presiden dan Prabowo Subianto sebagai calon wakil
presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009.
2. Prabowo Subianto sebagai wakil presiden, jika terpilih, mendapat
penugasan untuk mengendalikan program dan kebijakan kebangkitan ekonomi
Indonesia yang berdasarkan azas berdiri di kaki sendiri, berdaulat di bidang
politik, dan kepribadian nasional di bidang kebudayaan dalam kerangka sistem
presidensial. Esensi kesepakatan ini akan disampaikan oleh Megawati
Soekarnoputri pada saat pengumuman pencalonan calon presiden dan calon wakil
presiden serta akan dituangkan lebih lanjut dalam produk hukum yang sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku.
3. Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto bersama-sama membentuk
kabinet. Berkaitan dengan penugasan pada butir 2 diatas, Prabowo Subianto
menentukan nama-nama menteri yang terkait. Menteri-menteri tersebut adalah
Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri keuangan, Menteri BUMN, Menteri
ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Pertahanan.
4. Pemerintah yang terbentuk akan mendukung program kerakyatan PDI
Perjuangan dan 8 (delapan) program aksi Partai Gerindera untuk kemakmuran
rakyat.
5 Pendanaan pemenangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009
ditanggung secara bersama-sama dengan presentase 50% dari pihak Megawati
Soekarnoputri dan 50% dari pihak Prabowo Subianto.
6. Tim sukses pemenangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009
dibentuk bersama-sama melibatkan kader-kader PDI Perjuangan dan Partai
Gerindera serta unsur-unsur masyarakat.
7. Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto
sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.
Sebagai sosok patriot yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi,
jargon ini membuat Partai Gerindra memiliki kans yang fenomenal dan pasti akan
membuat kejutan di pemilihan legislatif tahun 2014, signifikannya suara
Gerindra dikarenakan sosok Prabowo yang tegas di mata Rakyat Indonesia akan mampu
mengangkat keterpurukan bangsa ini ditengah kegamangan dan kekurang tegasan
pemimpin saat ini disaat, namun tidak bagi Jend (purn) TNI Agum Gumelar, yang
menyatakan bahwa "Saya tahu persis siapa dia. Karena bekas anak buah saya.
Jangankan untuk menjadi presiden, untuk mencalonkan diri saja harusnya dia
malu," kata Agum Gumelar, yang tak lain adalah bekas komandannya saat
berdinas di Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Kasus penculikan beberapa aktivis ini, lanjut mantan menteri perhubungan, pada Kabinet Gotong Royong itu, mendapat reaksi cukup keras dari dunia internasional. Kerja sama Indonesia dengan beberapa negara-negara luar diputus. "Pimpinan ABRI langsung melakukan penyelidikan kasus yang masuk kategori pelanggaran berat ini. Harusnya kasus ini ditangani Mahkamah Militer karena telah teridentitas. Tapi karena beberapa faktor akhirnya tidak ditangani Mahkamah Militer," terang Agum yang merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1968 itu. Maka untuk melanjutkan pemeriksaan, petinggi ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang beranggotakan beberapa perwira berpangkat letnan jendral (letjen). "DKP ini beranggotakan letjen-letjen. Ada saya, Pak SBY saat itu dan lainnya," ungkapnya. Dalam pemeriksaan itu DKP menyimpulkan dalam bentuk rekomendasi panglima ABRI untuk memberhentikan Prabowo Subianto Djojohadikusumo yang saat itu berpangkat letjen.
Lebih lanjut ditegaskan Agum, apa yang dikatakannya bukan untuk menggiring pemilih untuk tidak memilih ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu. Tapi hanya mengingatkan, layak atau tidak layak seseorang dipilih sebagai presiden. Menurut Agum yang juga merupakan ketua umum DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (PEPABRI), keluarga besar PEPABRI telah menyepakati salah satu syarat seorang bakal calon pemimpin dari TNI atau Polri yakni, memiliki kepribadian yang baik, memiliki track record bagus, leadership telah teruji, serta memiliki latar belakang keluarga yang bagus. "Silakan mau pilih siapa, dari mana, silakan. Ini demokrasi. Tapi yang mengerti harus mengingatkan yang tidak mengerti, karena masa depan bangsa ini jadi taruhannya”.
Kasus penculikan beberapa aktivis ini, lanjut mantan menteri perhubungan, pada Kabinet Gotong Royong itu, mendapat reaksi cukup keras dari dunia internasional. Kerja sama Indonesia dengan beberapa negara-negara luar diputus. "Pimpinan ABRI langsung melakukan penyelidikan kasus yang masuk kategori pelanggaran berat ini. Harusnya kasus ini ditangani Mahkamah Militer karena telah teridentitas. Tapi karena beberapa faktor akhirnya tidak ditangani Mahkamah Militer," terang Agum yang merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1968 itu. Maka untuk melanjutkan pemeriksaan, petinggi ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang beranggotakan beberapa perwira berpangkat letnan jendral (letjen). "DKP ini beranggotakan letjen-letjen. Ada saya, Pak SBY saat itu dan lainnya," ungkapnya. Dalam pemeriksaan itu DKP menyimpulkan dalam bentuk rekomendasi panglima ABRI untuk memberhentikan Prabowo Subianto Djojohadikusumo yang saat itu berpangkat letjen.
Lebih lanjut ditegaskan Agum, apa yang dikatakannya bukan untuk menggiring pemilih untuk tidak memilih ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu. Tapi hanya mengingatkan, layak atau tidak layak seseorang dipilih sebagai presiden. Menurut Agum yang juga merupakan ketua umum DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (PEPABRI), keluarga besar PEPABRI telah menyepakati salah satu syarat seorang bakal calon pemimpin dari TNI atau Polri yakni, memiliki kepribadian yang baik, memiliki track record bagus, leadership telah teruji, serta memiliki latar belakang keluarga yang bagus. "Silakan mau pilih siapa, dari mana, silakan. Ini demokrasi. Tapi yang mengerti harus mengingatkan yang tidak mengerti, karena masa depan bangsa ini jadi taruhannya”.
Sebagai
gambaran umum bahwa penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan
orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang
terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998. Peristiwa penculikan ini dipastikan
berlangsung dalam tiga tahap yakni menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua
bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang
pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara
mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul
kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman
mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan
ketiga muncul. Selama periode 1997/1998,
KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23
orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang
ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13
lainnya masih hilang hingga hari ini.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief. Sedangkan tiga belas aktivis yang masih hilang dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan mahasiswa.
Kasus ini diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006. Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM tahun 2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan ada beberapa orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.
Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI. Pada 22 Desember 2006 Komnas HAM meminta DPR agar mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum untuk menuntaskan persoalan.
Ketua DPR Agung Laksono pada 7 Februari 2007 juga meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis. Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI.
Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun. Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono di sidang Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu dilaporkan kepada komandan grupnya, yakni Kolonel Chairawan, tetapi sang komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa dikonfirmasi.
Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR, serta Dan Group-4 Kolonel Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan bawahannya.
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi TNI saat itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya.
Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer. Keadaan tahun 2007 Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan belum bisa dikenakan atas mereka.
Sementara itu mereka tetap meniti karier di TNI dan meduduki beberapa posisi penting, rincianya sbb:
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu. Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI. 28 September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang) merekomendasikan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili aktor-aktor di balik penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1998-1999. Isi rekomendasi:
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief. Sedangkan tiga belas aktivis yang masih hilang dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan mahasiswa.
Kasus ini diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006. Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM tahun 2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan ada beberapa orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.
Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI. Pada 22 Desember 2006 Komnas HAM meminta DPR agar mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum untuk menuntaskan persoalan.
Ketua DPR Agung Laksono pada 7 Februari 2007 juga meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis. Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI.
Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun. Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono di sidang Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu dilaporkan kepada komandan grupnya, yakni Kolonel Chairawan, tetapi sang komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa dikonfirmasi.
Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR, serta Dan Group-4 Kolonel Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan bawahannya.
Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi TNI saat itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya.
Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer. Keadaan tahun 2007 Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan belum bisa dikenakan atas mereka.
Sementara itu mereka tetap meniti karier di TNI dan meduduki beberapa posisi penting, rincianya sbb:
- Bambang Kristiono, dipecat;
- Fausani Syahrial Multhazar: pada tahun 2007 menjabat Dandim Jepara dengan pangkat Letnan Kolonel;
- Nugroho Sulistyo Budi:
- Untung Budi Harto, tahun 2007 menjabat Dandim Ambon dengan pangkat Letnan Kolonel;
- Dadang Hendra Yuda, pada September 2006 menjabat Dandim Pacitan dengan pangkat Letnan Kolonel;
- Jaka Budi Utama, pada tahun 2007 menjabat Komandan Batalyon 115/Macan Lauser;
- Sauka Nur Chalid;
- Sunaryo;
- Sigit Sugianto;
- Sukardi;
- Kolonel Infantri Chairawan dipromosikan menjadi Danrem 011 Lilawangsa;
- Mayjen Muchdi PR muncul dalam sidang pembunuhan aktifis HAM Munir untuk dimintai keterangan mengenai keterlibatan dirinya maupun BIN dalam pembunuhan tersebut. Muchdi PR adalah mantan Deputi V BIN pada saat Munir terbunuh.
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu. Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI. 28 September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang) merekomendasikan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili aktor-aktor di balik penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1998-1999. Isi rekomendasi:
- Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
- Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang;
- Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;
- Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia.
Sedangkan
Prabowo saat wawancara kepada majalah Tempo, mengaku tidak melakukan
penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 maupun kerusuhan Mei 1998. Prabowo dalam wawancara itu juga menuturkan
perintah penculikan terhadap para aktivis hanya untuk menjalankan tugas.
Terlepas dari itu semua, dalam bingkai militer, tentu saja posisi Prabowo saat itu tidak terlepas dari perintah, karena secara militer masih banyak para Jendral dengan posisi startegis berada diatas kepangkatannya bahkan masih ada sosok seorang Presiden sebagai panglima tertinggi yang tentu saja dapat memberikan perintah bahkan sekaligus menghentikan tindakan Prabowo bila melakukan aksi diluar ketentuan, ataukah ketidakberanian petinggi militer saat itu dikarenakan sosok Prabowo sebagai menantu kepala negara, dan yang lebih mencengangkan lagi bahwa para aktifis yang diculik dan masih hidup saat ini ternyata berposisi dalam wilayah politik dan bisnis Prabowo, rakyat menanti pernyataan objektif para aktifis tersebut dan rakyat menunggu clear dan cleannya dugaan pelanggaran HAM yang ditautkan kepada Prabowo melalui ketegasan pemerintah untuk menyelesaikan dugaan ini pada domain yustisia, agar RAKYAT INDONESIA TAHU SECARA PASTI KEBENARAN ATAUKAH PEMBENARAN YANG MELEKAT PADA SOSOK PRABOWO, PEMBUKTIAN INILAH MOMENTUM TERAKHIR DAN TERMANIS BAGI PRABOWO UNTUK MENJADI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Terlepas dari itu semua, dalam bingkai militer, tentu saja posisi Prabowo saat itu tidak terlepas dari perintah, karena secara militer masih banyak para Jendral dengan posisi startegis berada diatas kepangkatannya bahkan masih ada sosok seorang Presiden sebagai panglima tertinggi yang tentu saja dapat memberikan perintah bahkan sekaligus menghentikan tindakan Prabowo bila melakukan aksi diluar ketentuan, ataukah ketidakberanian petinggi militer saat itu dikarenakan sosok Prabowo sebagai menantu kepala negara, dan yang lebih mencengangkan lagi bahwa para aktifis yang diculik dan masih hidup saat ini ternyata berposisi dalam wilayah politik dan bisnis Prabowo, rakyat menanti pernyataan objektif para aktifis tersebut dan rakyat menunggu clear dan cleannya dugaan pelanggaran HAM yang ditautkan kepada Prabowo melalui ketegasan pemerintah untuk menyelesaikan dugaan ini pada domain yustisia, agar RAKYAT INDONESIA TAHU SECARA PASTI KEBENARAN ATAUKAH PEMBENARAN YANG MELEKAT PADA SOSOK PRABOWO, PEMBUKTIAN INILAH MOMENTUM TERAKHIR DAN TERMANIS BAGI PRABOWO UNTUK MENJADI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar