"KAMI BANGSA
INDONESIA ATAU PALING TIDAK KAMI ADALAH MANUSIA”
“Sebuah keniscayaan bahwa nenek
moyang kami terlahir di bumi Indonesia, dan akhirnya kamipun tanpa kuasa
menolak, juga dilahirkan di bumi pertiwi”.
Sepenggal kalimat yang sering terdengar dalam deru tangis kesedihan
rakyat Indonesia yang di marginalkan baik akibat himpitan ekonomi, sosial,
budaya dan agama.
Sejak pengakuan seorang manusia
bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia, sejak itupula Negara Republik
Indonesia melalui Pemerintah belum pernah memproklamirkan memiliki
manusia-manusia yang menjadi rakyatnya.
Proklamasi yang diagung-agungkan sebagai momentum awal kemerdekaan
negara, memang benar merupakan sebuah motivasi besar bagi bangsa Indonesia dan paling
tidak memiliki andil membuat Indonesia lepas dari belenggu penjajahan negara
lain namun bila ditelisik lebih dalam maka akan dipahami bahwa proklamasi hanya
sekumpulan tulisan dalam secarik kertas yang sampai dengan saat ini tidak mampu
di realisasikan pemimpin-pemimpin di negeri archipelago ini. Perjuangan Soekarno dan pejuang-pejuang lainnya
patut dijunjung tinggi, apresiasi tersebut atas dasar penilaian bahwa mereka
adalah perintis untuk menuju makna sebenarnya dari Proklamasi tersebut,
sehingga kemerdekaan masih ibarat jauh panggang dari api. Namun yang menjadi
pertanyaan mendasar adalah kemana pemegang tongkat estafet kepemimpinan di
negeri ini, ketika masih belum mampu menyentuh makna sebenarnya dari sebuah
makna proklamasi yakni kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Ketika rakyatnya merdeka maka wilayah yang
mereka berlindung pun dapat dikatakan merdeka, namun sebaliknya bila negara
merdeka belum tentu rakyat negara tersebut menjadi merdeka.
Sebagai negara yang berdaulat dan
menganut sistem Republik maka tampuk kekuasaan pemerintahan tertinggi berada di
genggaman seorang Presiden. Seorang
pemimpin negara yang sangat menentukan peradaban sebuah bangsa. Terlalu bias
bila dikatakan presiden adalah ketua dari trias politica, namun dalam realitas
faktual, presiden menguasai eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan presiden di negara ini menjadi
mutlak, karena sistem yang ada tidak berjalan dalam memberikan kontrol, lembaga
legislatif laksana buruh bagi presiden, presiden menjadikan lembaga yudikatif sebagai
budak tersayang, apalagi lembaga eksekutif bak hamba sahaya, sehingga kejayaan
negara dan bangsa ini berbanding signifikan dengan integritas seorang Presiden.
Warga Negara Indonesia yang tidak yakin
bahwa bagian dari rakyat Indonesia merupakan sebuah ungkapan serius dan patut
untuk dianalisia, bila fenomena-fenomena kekinian yang kerap terjadi di seluruh
wilayah nusantara di cermati, maka ditemukan satu titik bahwa Presiden sebagai
kepanjangan tangan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah murtad
terhadap azas negara yang menjadi pedoman bernegara yakni Pancasila,
Undang-undang Dasar 1945 dan pemersatu bangsa bhineka tunggal ika. Indikasinya sangat realitis terpampang di
depan mata tanpa tertutupi, kemiskinan semakin merajalela, ketika sandang,
pangan dan papan sudah tidak bisa di akomodir oleh pemerintah, hak-hak dasar
sebagai rakyat Indonesia dan sebagai manusia yang hidup di bumi ini telah tidak
diperdulikan bahkan diberangus, ini sebagai akibat nyata dari dekadensi
moralitas pemimpin negeri yang semakin tererosi kedalam jurang kehinaan.
Hak-hak universal merupakan sebuah
hak fundamental yang wajib diakui pribadi setiap manusia, bukan hanya dirinya
namun manusia lain juga mengakuinya, terlebih lagi sebuah negara yang mengklaim
bahwa memiliki manusia yang disebut rakyat.
Sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi hak-hak
universal rakyatnya, bahkan bukan hanya melindungi, negara sepatutnyalah
menjabarkan hak-hak universal menjadi lebih terperinci dan memunculkan hak-hak
lainnya untuk membuat rakyat menjadi bagian dari negara, ketika hak-hak
tersebut terpenuhi maka secara otomatis tanpa diisyaratkan dalam sebuah tatanan
aturan baku maka rakyat akan membuat sebuah gerakan “kewajiban” sebagai
penyeimbang setelah terpenuhinya sebuah hak, untuk membuat bangsa dan negara
ini menjadi adil, makmur dan sentosa.
Ketika berada pada sudut pandang
hak untuk hidup, Hak untuk mendapatkan rasa aman dan hak mendapatkan
perlindungan sebagai warga negara dari pemerintah yang menaunginya, tidak
terpenuhi ketika kondisi terkini di Indonesia keterpenuhan hal tersebut menjadi
barang ekslusif, setiap manusia yang berada di wilayah teritorial NKRI dapat
dengan mudah kehilangan hak hidupnya, begitu mudahnya harta dan nyawa melayang
akibat konflik sosial, konflik horizontal dan konflik komunal, secara politik
dan hukum maka setiap manusia di bumi pertiwi ini dapat dengan mudah
terkriminalisasi, yang memiliki sebab hukum maka akan mudah lepas dari jeratan
hukum. Kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) merupakan sebuah pelanggaran kemanusiaan, subsidi merupakan
kewajiban pemerintah untuk melindungi warga negara secara ekonomi, logika
berpikir terbalik yang telah di populerkan pemegang otoritas saat ini, di
tengah keterpurukan ekonomi rakyat yang secara riil semakin mengkhawatirkan,
kebijakan pencabutan subsidi dan strategi peredamannya melalui bantuan tunai
bukan merupakan langkah populer dan akan menimbulkan efek domino bagi rakyat
miskin, berbeda ketika momen kebijakan tersebut dilaksanakan ketika
kesejahteraan ekonomi telah menyentuh rakyat Indonesia secara fundamental.
Demonstrasi terhadap sebuah kebijakan pemerintah sangat di apresiasi dalam
sebuah kerangka hak kebebasan berpendapat, fenomena yang terjadi sangat
menunjukkan kekerdilan pemerintah saat ini, manakala pemerintah sebagai
sutradara membuat sebuah langkah terobosan “devide et impera”, mengatasnamakan
masyarakat melakukan demonstrasi tandingan yang berujung pada tindak kekerasan
pada para demonstran lainnya dan ini telah dipertontonkan pemerintah dengan
memprovokasi masyarakat melakukan aksi premanisme untuk mengintimidasi dan
menganiaya para buruh, mahasiswa dan aktifis dalam setiap gerakan empati
terhadap kesengasaraan rakyat akibat kebijakan pemerintah.
Kebebasan berkeyakinan merupakan
sebuah produk alamiah, hak terdasar dari sebuah filosofi hadirnya manusia,
sebuah hak abstrak yang tidak dapat diukur secara empiris, hak setiap manusia
untuk meyakinkan dirinya terhadap eksistensi manusia dan penciptanya. Kebebasan berkeyakinan adalah kebebasan
mutlak yang berada pada sudut pandang yakin, atas penalaran logika yang mengisi
relung rasa dan hati sanubari, tidak akan pernah kebebasan ini bisa di
intervensi, pemilik diri saja tidak mampu untuk menahan gejolak keyakinan dalam
dirinya, sekumpulan manusia terdekat di luar dirinya saja tidak akan mampu
untuk mengekang hasrat ini, apalagi pemerintah yang melakukan invasi terhadap
keyakinan rakyatnya. Keyakinan dapat
berubah hanya dengan sebuah soft approach, pendekatan keilmuan yang
diformulasikan dalam sebuah pendidikan dan pembinaan. Kebebasan berkeyakinan bila dikaitkan dalam
sudut pandang agama, sangat kompleks dan memerlukan strategi konkret yang
tersistem dan terskema dengan baik dalam penangan gejolak yang ditimbulkannya.
Sekte atau aliran dalam sebuah agama sangat lajim semakin tercabang sesuai
dengan perkembangan agama yang bersangkutan, penolakan dan pelarangan terhadap
pembangunan sebuah rumah ibadah agama minoritas merupakan sebuah kelajiman
ditengah kesemrawutan pola pikir masyarakat beragama mayoritas, namun sebagai
pemegang otoritas selayaknyalah pemerintah dapat membuat sebuah koridor yang
jelas terhadap resistensi tersebut.
Sekte Islam Ahmadiyah sebuah pemahaman berkeyakinan yang juga dianut
warga negara Indonesia saat ini, sebagai sebuah aliran minoritas penganut
ajaran ini memahami bahwa eksistensinya telah mengusik kaum mayoritas, sehingga
persetujuan terhadap kesepakatan yang gariskan oleh pemerintah melalui
keputusan bersama para menteri diakomodir oleh pengikut Ahmadiyah. Berkembang luasnya ajaran Ahmadiyah adalah
sebuah konsekuensi logis dalam pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia,
pemerintah seharusnya telah memiliki strategi jitu dan prosedur baku untuk
menggiring perbedaan pemahaman ini sehingga tidak membuahkan pelanggaran hak
azasi manusia oleh masyarakat mayoritas.
Kejadian intoleransi terhadap aliran Islam minoritas kembali menyeruak
dan sangat memilukan, Syiah sebagai sebuah bagian dari aliran Islam di Negara
Indonesia termasuk dalam kategori minoritas mencapai 5 sampai 10 Juta jiwa,
namun secara general bila ditinjau di negara Islam lainnya merupakan aliran
Islam mayoritas, kejadian di Kabupaten Sampang Madura sangat memilukan sebagai
warga negara Indonesia yang selama ini sangat toleransi dengan perbedaan dan
keberagaman, sebuah kampung terpencil yang sebagian masyarakatnya menganut
aliran Syiah telah di bumi hanguskan, rumah dan harta telah menjadi arang
bahkan korban nyawa pun telah dipersembahkan demi sebuah kebebasan
berkeyakinan, hukuman tervonis bersalah dan di penjara telah di jatuhkan kepada
pemimpin Syiah di kampung tersebut karena dianggap telah melakukan pemakjulan
agama, namun provokator yang menyebabkan tragedi berdarah dinyatakan tidak
bersalah dan tervonis bebas, bahkan para korban intoleransi tersebut yang
akhirnya di kategorikan sebagai pengungsi, di amankan dalam sebuah Gelanggang
Olahraga dengan fasilitas yang tidak layak dalam sebuah negara yang layak
memberikan fasilitas terbaik untuk warga negaranya, tidak cukup dengan
treatment tersebut pemegang otoritas setempat berdalih karena kemanan jiwa
pengungsi syiah akibat adanya gerakan demonstrasi yang di pimpin ulama
setempat, melakukan evakuasi para pengungsi ketempat yang dianggap aman yakni
di Sidoarjo dengan harapan akan memberikan fasilitas dan perlindungan yang
lebih baik. Sadarkah masyarakat Madura
bahwa mereka telah mengulang sejarah yang sama ketika intoleransi atas nama
kesukuan telah menoreh luka yang mendalam bagi sebagian masyarakat Madura yang
bermukim di Kalimantan Tengah pada saat pergolakan SARA, bahwa Fenomena ini
akan menjadi sebuah wabah yang akan menyebar ke seantero nusantara, penyebabnya
adalah secara dogmatis bahwa hukum dan pemerintah akan dapat dikalahkan dengan
suara dan gerakan mayoritas, aksioma gerakan mayoritas ini akan dimanfaatkan
oleh kepentingan politik para penguasa yang mendoktrin masyarakat melalui para
ulamanya untuk menghalalkan penindasan terhadap sesuatu yang memiliki
perbedaan. Konsep dan petunjuk teknis
Pemerintah pastinya hanya melakukan manuver normatif, demi menjaga kondusifitas
dan stabilitas daerah serta menjaga untuk tidak jatuhnya korban dari pihak minoritas
dan agar dapat memberikan perlindungan terbaik terhadap pengungsi maka
prioritas utama yang harus dilakukan adalah melakukan evakuasi dan berujung
pada sebuah metode pendekatan relokasi.
Dari Sabang sampai Merauke pemerintah wajib memberikan perlindungan dan
rasa aman terhadapat hak kebebasan berkeyakinan, relokasi adalah sebuah
pembenaran bahwa pemerintah tidak memiliki kekuasaan pada sebagian wilayah
otorisasinya untuk menciptakan rasa aman bagi warga negara Indonesia lainnya, Pendeteksian
dini terhadap intoleransi sudah harus dilakukan sebelum wabah ini meluas tanpa
dapat terbendung yang bisa berakibat diintegrasi bangsa, kewajiban pemerintah
dalam menjaga dan melindungi hak-hak warga negara terutama kebebasan berkeyakinan
tidak terpola pada saat gerakan intoleransi telah menyeruak namun lebih kepada
system building yang diterapkan pemerintah untuk memberikan penyuluhan,
pendidikan dan pembinaan kepada masyarakat berkeyakinan minoritas maupun
mayoritas, dalam hal kebebasan berkeyakinan, pemerintah tidak dalam posisi
memastikan kebenaran dan kesalahan dalam sebuah keyakinan, tetapi membuat
sebuah track yang bisa dilalui oleh seluruh keyakinan yang berbeda bahwa rakyat
Indonesia dapat berjalan harmonis dalam sebuah perbedaan.
Konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, secara jelas terpampang di dasar negara Pancasila, Undang-Undang
Dasar, yang mencengkram erat “Bhineka Tunggal Ika”, dan di gaungkan dalam
sebuah Proklamasi, untuk menyatakan “Kemerdekaan” bangsa Indonesia, kemerdekaan
yang terejawantahkan dalam kemerdekaan hak-hak azasi manusia, kebebasan dalam
makna konkret bahwa pemerintah sebagai pengatur negara menjamin dan melindungi
warga negara sesuai dengan amanat konstitusi.
Sebuah keniscayaan bahwa ketika pemerintah tidak bisa menjamin hak
konstitusi warga negaranya maka asumsi yang melekat bahwa mereka tidak dianggap
sebagai warga negara Indonesia, namun sejatinya pemerintah yang terdiri dari
sekumpulan manusia yang memiliki kebebasan berkeyakinan dan memimpin negeri
ini, paling tidak dapat memanusiakan manusia. KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI
MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar