Translate

Minggu, 13 April 2014

TERBELENGGUNYA PROKLAMASI


"KAMI BANGSA INDONESIA ATAU PALING TIDAK KAMI ADALAH MANUSIA”

“Sebuah keniscayaan bahwa nenek moyang kami terlahir di bumi Indonesia, dan akhirnya kamipun tanpa kuasa menolak, juga dilahirkan di bumi pertiwi”.  Sepenggal kalimat yang sering terdengar dalam deru tangis kesedihan rakyat Indonesia yang di marginalkan baik akibat himpitan ekonomi, sosial, budaya dan agama. 

Sejak pengakuan seorang manusia bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia, sejak itupula Negara Republik Indonesia melalui Pemerintah belum pernah memproklamirkan memiliki manusia-manusia yang menjadi rakyatnya.  Proklamasi yang diagung-agungkan sebagai momentum awal kemerdekaan negara, memang benar merupakan sebuah motivasi besar bagi bangsa Indonesia dan paling tidak memiliki andil membuat Indonesia lepas dari belenggu penjajahan negara lain namun bila ditelisik lebih dalam maka akan dipahami bahwa proklamasi hanya sekumpulan tulisan dalam secarik kertas yang sampai dengan saat ini tidak mampu di realisasikan pemimpin-pemimpin di negeri archipelago ini.  Perjuangan Soekarno dan pejuang-pejuang lainnya patut dijunjung tinggi, apresiasi tersebut atas dasar penilaian bahwa mereka adalah perintis untuk menuju makna sebenarnya dari Proklamasi tersebut, sehingga kemerdekaan masih ibarat jauh panggang dari api. Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah kemana pemegang tongkat estafet kepemimpinan di negeri ini, ketika masih belum mampu menyentuh makna sebenarnya dari sebuah makna proklamasi yakni kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.  Ketika rakyatnya merdeka maka wilayah yang mereka berlindung pun dapat dikatakan merdeka, namun sebaliknya bila negara merdeka belum tentu rakyat negara tersebut menjadi merdeka.

Sebagai negara yang berdaulat dan menganut sistem Republik maka tampuk kekuasaan pemerintahan tertinggi berada di genggaman seorang Presiden.  Seorang pemimpin negara yang sangat menentukan peradaban sebuah bangsa. Terlalu bias bila dikatakan presiden adalah ketua dari trias politica, namun dalam realitas faktual, presiden menguasai eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Kekuasaan presiden di negara ini menjadi mutlak, karena sistem yang ada tidak berjalan dalam memberikan kontrol, lembaga legislatif laksana buruh bagi presiden, presiden menjadikan lembaga yudikatif sebagai budak tersayang, apalagi lembaga eksekutif bak hamba sahaya, sehingga kejayaan negara dan bangsa ini berbanding signifikan dengan integritas seorang Presiden.

Warga Negara Indonesia yang tidak yakin bahwa bagian dari rakyat Indonesia merupakan sebuah ungkapan serius dan patut untuk dianalisia, bila fenomena-fenomena kekinian yang kerap terjadi di seluruh wilayah nusantara di cermati, maka ditemukan satu titik bahwa Presiden sebagai kepanjangan tangan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah murtad terhadap azas negara yang menjadi pedoman bernegara yakni Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan pemersatu bangsa bhineka tunggal ika.  Indikasinya sangat realitis terpampang di depan mata tanpa tertutupi, kemiskinan semakin merajalela, ketika sandang, pangan dan papan sudah tidak bisa di akomodir oleh pemerintah, hak-hak dasar sebagai rakyat Indonesia dan sebagai manusia yang hidup di bumi ini telah tidak diperdulikan bahkan diberangus, ini sebagai akibat nyata dari dekadensi moralitas pemimpin negeri yang semakin tererosi kedalam jurang kehinaan.

Hak-hak universal merupakan sebuah hak fundamental yang wajib diakui pribadi setiap manusia, bukan hanya dirinya namun manusia lain juga mengakuinya, terlebih lagi sebuah negara yang mengklaim bahwa memiliki manusia yang disebut rakyat.  Sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi hak-hak universal rakyatnya, bahkan bukan hanya melindungi, negara sepatutnyalah menjabarkan hak-hak universal menjadi lebih terperinci dan memunculkan hak-hak lainnya untuk membuat rakyat menjadi bagian dari negara, ketika hak-hak tersebut terpenuhi maka secara otomatis tanpa diisyaratkan dalam sebuah tatanan aturan baku maka rakyat akan membuat sebuah gerakan “kewajiban” sebagai penyeimbang setelah terpenuhinya sebuah hak, untuk membuat bangsa dan negara ini menjadi adil, makmur dan sentosa.

Ketika berada pada sudut pandang hak untuk hidup, Hak untuk mendapatkan rasa aman dan hak mendapatkan perlindungan sebagai warga negara dari pemerintah yang menaunginya, tidak terpenuhi ketika kondisi terkini di Indonesia keterpenuhan hal tersebut menjadi barang ekslusif, setiap manusia yang berada di wilayah teritorial NKRI dapat dengan mudah kehilangan hak hidupnya, begitu mudahnya harta dan nyawa melayang akibat konflik sosial, konflik horizontal dan konflik komunal, secara politik dan hukum maka setiap manusia di bumi pertiwi ini dapat dengan mudah terkriminalisasi, yang memiliki sebab hukum maka akan mudah lepas dari jeratan hukum.   Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan sebuah pelanggaran kemanusiaan, subsidi merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi warga negara secara ekonomi, logika berpikir terbalik yang telah di populerkan pemegang otoritas saat ini, di tengah keterpurukan ekonomi rakyat yang secara riil semakin mengkhawatirkan, kebijakan pencabutan subsidi dan strategi peredamannya melalui bantuan tunai bukan merupakan langkah populer dan akan menimbulkan efek domino bagi rakyat miskin, berbeda ketika momen kebijakan tersebut dilaksanakan ketika kesejahteraan ekonomi telah menyentuh rakyat Indonesia secara fundamental. Demonstrasi terhadap sebuah kebijakan pemerintah sangat di apresiasi dalam sebuah kerangka hak kebebasan berpendapat, fenomena yang terjadi sangat menunjukkan kekerdilan pemerintah saat ini, manakala pemerintah sebagai sutradara membuat sebuah langkah terobosan “devide et impera”, mengatasnamakan masyarakat melakukan demonstrasi tandingan yang berujung pada tindak kekerasan pada para demonstran lainnya dan ini telah dipertontonkan pemerintah dengan memprovokasi masyarakat melakukan aksi premanisme untuk mengintimidasi dan menganiaya para buruh, mahasiswa dan aktifis dalam setiap gerakan empati terhadap kesengasaraan rakyat akibat kebijakan pemerintah.

Kebebasan berkeyakinan merupakan sebuah produk alamiah, hak terdasar dari sebuah filosofi hadirnya manusia, sebuah hak abstrak yang tidak dapat diukur secara empiris, hak setiap manusia untuk meyakinkan dirinya terhadap eksistensi manusia dan penciptanya.  Kebebasan berkeyakinan adalah kebebasan mutlak yang berada pada sudut pandang yakin, atas penalaran logika yang mengisi relung rasa dan hati sanubari, tidak akan pernah kebebasan ini bisa di intervensi, pemilik diri saja tidak mampu untuk menahan gejolak keyakinan dalam dirinya, sekumpulan manusia terdekat di luar dirinya saja tidak akan mampu untuk mengekang hasrat ini, apalagi pemerintah yang melakukan invasi terhadap keyakinan rakyatnya.  Keyakinan dapat berubah hanya dengan sebuah soft approach, pendekatan keilmuan yang diformulasikan dalam sebuah pendidikan dan pembinaan.  Kebebasan berkeyakinan bila dikaitkan dalam sudut pandang agama, sangat kompleks dan memerlukan strategi konkret yang tersistem dan terskema dengan baik dalam penangan gejolak yang ditimbulkannya. Sekte atau aliran dalam sebuah agama sangat lajim semakin tercabang sesuai dengan perkembangan agama yang bersangkutan, penolakan dan pelarangan terhadap pembangunan sebuah rumah ibadah agama minoritas merupakan sebuah kelajiman ditengah kesemrawutan pola pikir masyarakat beragama mayoritas, namun sebagai pemegang otoritas selayaknyalah pemerintah dapat membuat sebuah koridor yang jelas terhadap resistensi tersebut.  Sekte Islam Ahmadiyah sebuah pemahaman berkeyakinan yang juga dianut warga negara Indonesia saat ini, sebagai sebuah aliran minoritas penganut ajaran ini memahami bahwa eksistensinya telah mengusik kaum mayoritas, sehingga persetujuan terhadap kesepakatan yang gariskan oleh pemerintah melalui keputusan bersama para menteri diakomodir oleh pengikut Ahmadiyah.  Berkembang luasnya ajaran Ahmadiyah adalah sebuah konsekuensi logis dalam pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia, pemerintah seharusnya telah memiliki strategi jitu dan prosedur baku untuk menggiring perbedaan pemahaman ini sehingga tidak membuahkan pelanggaran hak azasi manusia oleh masyarakat mayoritas.  Kejadian intoleransi terhadap aliran Islam minoritas kembali menyeruak dan sangat memilukan, Syiah sebagai sebuah bagian dari aliran Islam di Negara Indonesia termasuk dalam kategori minoritas mencapai 5 sampai 10 Juta jiwa, namun secara general bila ditinjau di negara Islam lainnya merupakan aliran Islam mayoritas, kejadian di Kabupaten Sampang Madura sangat memilukan sebagai warga negara Indonesia yang selama ini sangat toleransi dengan perbedaan dan keberagaman, sebuah kampung terpencil yang sebagian masyarakatnya menganut aliran Syiah telah di bumi hanguskan, rumah dan harta telah menjadi arang bahkan korban nyawa pun telah dipersembahkan demi sebuah kebebasan berkeyakinan, hukuman tervonis bersalah dan di penjara telah di jatuhkan kepada pemimpin Syiah di kampung tersebut karena dianggap telah melakukan pemakjulan agama, namun provokator yang menyebabkan tragedi berdarah dinyatakan tidak bersalah dan tervonis bebas, bahkan para korban intoleransi tersebut yang akhirnya di kategorikan sebagai pengungsi, di amankan dalam sebuah Gelanggang Olahraga dengan fasilitas yang tidak layak dalam sebuah negara yang layak memberikan fasilitas terbaik untuk warga negaranya, tidak cukup dengan treatment tersebut pemegang otoritas setempat berdalih karena kemanan jiwa pengungsi syiah akibat adanya gerakan demonstrasi yang di pimpin ulama setempat, melakukan evakuasi para pengungsi ketempat yang dianggap aman yakni di Sidoarjo dengan harapan akan memberikan fasilitas dan perlindungan yang lebih baik.  Sadarkah masyarakat Madura bahwa mereka telah mengulang sejarah yang sama ketika intoleransi atas nama kesukuan telah menoreh luka yang mendalam bagi sebagian masyarakat Madura yang bermukim di Kalimantan Tengah pada saat pergolakan SARA, bahwa Fenomena ini akan menjadi sebuah wabah yang akan menyebar ke seantero nusantara, penyebabnya adalah secara dogmatis bahwa hukum dan pemerintah akan dapat dikalahkan dengan suara dan gerakan mayoritas, aksioma gerakan mayoritas ini akan dimanfaatkan oleh kepentingan politik para penguasa yang mendoktrin masyarakat melalui para ulamanya untuk menghalalkan penindasan terhadap sesuatu yang memiliki perbedaan.  Konsep dan petunjuk teknis Pemerintah pastinya hanya melakukan manuver normatif, demi menjaga kondusifitas dan stabilitas daerah serta menjaga untuk tidak jatuhnya korban dari pihak minoritas dan agar dapat memberikan perlindungan terbaik terhadap pengungsi maka prioritas utama yang harus dilakukan adalah melakukan evakuasi dan berujung pada sebuah metode pendekatan relokasi.  Dari Sabang sampai Merauke pemerintah wajib memberikan perlindungan dan rasa aman terhadapat hak kebebasan berkeyakinan, relokasi adalah sebuah pembenaran bahwa pemerintah tidak memiliki kekuasaan pada sebagian wilayah otorisasinya untuk menciptakan rasa aman bagi warga negara Indonesia lainnya, Pendeteksian dini terhadap intoleransi sudah harus dilakukan sebelum wabah ini meluas tanpa dapat terbendung yang bisa berakibat diintegrasi bangsa, kewajiban pemerintah dalam menjaga dan melindungi hak-hak warga negara terutama kebebasan berkeyakinan tidak terpola pada saat gerakan intoleransi telah menyeruak namun lebih kepada system building yang diterapkan pemerintah untuk memberikan penyuluhan, pendidikan dan pembinaan kepada masyarakat berkeyakinan minoritas maupun mayoritas, dalam hal kebebasan berkeyakinan, pemerintah tidak dalam posisi memastikan kebenaran dan kesalahan dalam sebuah keyakinan, tetapi membuat sebuah track yang bisa dilalui oleh seluruh keyakinan yang berbeda bahwa rakyat Indonesia dapat berjalan harmonis dalam sebuah perbedaan.

Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara jelas terpampang di dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar, yang mencengkram erat “Bhineka Tunggal Ika”, dan di gaungkan dalam sebuah Proklamasi, untuk menyatakan “Kemerdekaan” bangsa Indonesia, kemerdekaan yang terejawantahkan dalam kemerdekaan hak-hak azasi manusia, kebebasan dalam makna konkret bahwa pemerintah sebagai pengatur negara menjamin dan melindungi warga negara sesuai dengan amanat konstitusi.  Sebuah keniscayaan bahwa ketika pemerintah tidak bisa menjamin hak konstitusi warga negaranya maka asumsi yang melekat bahwa mereka tidak dianggap sebagai warga negara Indonesia, namun sejatinya pemerintah yang terdiri dari sekumpulan manusia yang memiliki kebebasan berkeyakinan dan memimpin negeri ini, paling tidak dapat memanusiakan manusia. KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar